Jumat, 01 Januari 2010

jangan kau buang aku

lampau sempat aku singah dalam bagian keluarga
dengan kasih dan cinta kita terhimpit dalam sekat empat bawah beringin
senyum yang menyakitkan dan tawa sisakan kenangan seakan hanya bayangan masa lalu
lampau coretkan tinta dalam mimpiku
kita meniti cerita sejarah akan ruh
dengan sebatang putung lisong dari atas aspal
putari kota kaki gunung merbabu
T.P. mereka menyebutnya
spiritual kita menyebut jalan kita
tapi kau beda kini

Sabtu, 25 Juli 2009

jangan siksa aku

dan suatu hari aku sempat bercerita
jangan kau sebut lagi kata itu
tapi kau terus mengatakan kata itu
berulang-ulang hampir tiap hari
dan pagi itu mereka memukul lewat jempolnya
terus ku katakan lagi padanya
jangan kau katakan lagi kata itu
tersenyumlah katanya
mulutku tak sanggup dengan fikirmu
tapi aku juga ingin tertawa
ini kan bukan inti sebuah hidup
jangan katakan lagi sayang
nanti aku terhibur
dah ya aku capek

Rabu, 22 April 2009

HANYA DUDUK BERSILA

Mereka yang hanya duduk bersila
Tersenyum dan tertawa,
Tanpa mengalir setitik tetesan dosa yang tak kunjung selesai
Mereka bicara dengan mulut-mulut yang telanjang
Dan mereka yang buta,
Kan selalu tersenyum tanpa pandang bulu.
Maukah ku-buatkan secangkir kopi untuk-mu
Biar mata selalu telanjang dan tak pernah tertutup kain transparan
Alunan tinggi rendah nada
Setia temani muntahan-muntahan masa kecil
Mustaka,
Hiasan sebuah hidup saja.
Dan tak terjamah,
Dengan setitik kuku hitam yang tak murni.
Bandelan kertas dengan nilai tinggi, menyeret di sela-sela peperangan tak kasat mata.

Salatiga, 29 Januari 2008

Tanya anak-ku

Desakan-desakan, tak tahu kemana arah dan tujuan
Kemana harus berjalan jika tak tahu jalan
Tumpukan batu bata setia bardiri tegab.
menemani tidurnya yang tak pernah nyenyak,
“Dari mana aku makan”….?
Tanya sianak culun.
Tumpukan batu bata pencakar langit setia,
menemani tidurnya yang tak pernah nyenyak,
tumpukan kantong plastik berisi sisa makanan
menyambut sarapan pagi si anak culun.

Salatiga, 08 Desember 2007

Senin, 20 April 2009

pesan buat calon “Wakil Rakyat”

Pernah aku melihat fenomena yang menggelitik ingatanku akan masa lalu, berteriak kesakitan tapi tak sadar bahwa dirinya sakit.

Seorang anak kecil lebih dari 23 tahun mengangkat bajunya agar duduk dalam kursi tajam. Dia menjulurkan lidahnya dengan penuh tulisan orang lain dalam otaknya dan menyalurkan pada kelompok-kelompok nyawa yang berkelompok. Dengan tawaran kesejahteraan jiwa maupun raga mereka menjamah dengan seksama. Langkah ke langkah ia menyusun kekuatannya agar banyak yang bertamu ke rumahnya, bahwa rumahnya sangat sejuk untuk masa depanmu, dan rumah itu menawarkan harga murah di pasar.
Dan anak itu berkata Akulah sang Wisnu yang bisa menyegarkan udara yang kau hirup setiap waktu. Akulah Super Hero yang bisa membawa terbang ke dunia impianmu.

Ijinkan aku menggantungkan bajuku di depan rumahmu. Akan ku kasih kau lima perak agar namaku dilihat orang.
Ijinkan aku menempelkan bajuku di perempatan jalanmu akan kukasih kau sepuluh perak agar namaku dilihat orang.
Ijinkan aku memaku bajuku di tiang benderamu akan kukasih kau limabelas perak agar bauku dikenali orang.
“Kelak akan kupayungi kau dengan payung emasku jika aku bisa menari di atas sana,” begitulah janji yang menjulur dari lidahnya.

Semoga pohon tak lelah menghidupi makhluk bumi
dan do’a ku matahari jangan bosan menuangkan panasnya,
dan semoga malam tak bosan berikan suasana nyaman untuk istirahat “kami”.

Selasa, 21 Oktober 2008

ArIf, di pelukan ku
Atas nama temanmu yang ketakutan karna ludah mereka yang tak bertanggungjawab

Aku cinta kau karna ku kenal sakitmu
Ku minum dan secangkir kopi pahit setiap pagi
Campuran gula dari pahitmu ku masukkan di akhir pekan
Senyummu berjuta keluh keluar
Aku siap mengantikan rasa sakitmu tuk hari nanti
Agar kau bisa minum kopi manisku
Dan tersenyum bahagia
Karna ku cinta karna sakitmu